Beranda Kabar Kampus Menjaga Mentalitas dan Karakteristik Aset Bangsa

Menjaga Mentalitas dan Karakteristik Aset Bangsa

34
0

Oleh AA Putu Sugiantiningsih

Sudah hampir 2 tahun pandemi covid-19 ini berlangsung. Menggoyahkan segala sektor. Tak pelak sektor pendidikan yang terkena imbas dalam pemberlakuan social distancing. Pelaksanaan vaksinasi untuk anak usia 12-16 tahun pun gencar dilakukan, dengan harapan pembelajaran secara tatap muka segera dapat dilakukan. Pendidikan sangat penting dalam menentukan kearah mana Bangsa kita melangkah. Mengingat dunia pendidikan akan menghasilkan generasi penerus bangsa yang kelak menjadi aset terbesar dari Bangsa Indonesia dalam mengelola pemerintahan di masa akan datang. Jika dunia pendidikan gagal dalam membentuk kaderisasi dengan kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusi (SDM) yang unggul dan mumpuni, maka sudah tentu bangsa Indonesia telah gagal mengemban amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45) Pasal 31 UUD 1945, mengamanatkan bahwa pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara tetapi pendidikan dasar merupakan kewajiban yang harus diikuti oleh setiap warga negara dan pemerintah wajib membiayai kegiatan tersebut.

Perlu kita renungkan bersama, bagaimana dampak dari pelaksanaan kelas daring (dalam jaringan). Dampak positif yang dapat kita terima, para peserta didik dan tenaga pendidik termasuk orang tua dengan sendirinya terdorong mempelajari teknologi. Beradaptasi dengan era 4.0 yang serba digital. Sementara dampak negatif dalam sistem pembelajaran daring, banyak keluhan dari orang tua terdengar. Para peserta didik yang belajar di rumah saja nampaknya tak serta merta melaksanakan pembelajaran daring dengan baik. Waktu pembelajaran yang dirasa akan membuat anak-anak ini tumbuh menjadi sosok yang menggantungkan hidupnya pada handphone, tuntuan memiliki media pembelajaran yang canggih akan menjadi kendala, khususnya peserta didik dari keluarga menengah ke bawah.

Apalagi yang orang tuannya tidak bekerja lagi bahkan kendala pun dirasakan untuk peserta didik yang orang tuanya bekerja penuh, karena tidak dapat mengontrol langsung putra-putro mereka di rumah. Apalagi yang duduk dibangku Sekolah Dasar (SD). Bahkan Taman Kanak-Kanak (TK) yang sejak dini telah diperkenalkan pada handphone. Sebagai salah satu media pembelajaran. Realitas social di masyarakat yang terjadi saat ini, justru selama Pandemi kekerasan pada anak selama pandemi mengalami peningkatan sekitar 15%. Kekerasan bisa berupa fisik maupun verbal. Terkadang orang tua tanpa sadar melakukan kekerasan tersebut. Kesiapan orang tua menjadi salah satu penyebab. Kekerasan pada anak seperti lingkaran setan yang akan berdampak hingga remaja sampai kemerosotan akhlak, mental dan moral anak-anak. Berdasarkan data dari Penetapan Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana (PPSKTDB) kekerasan pada anak awalnya mengalami penurunaan saat periode awal pandemi. Namun kejenuhan dan tuntutan kerja pada akhirnya meningkatkan angka kejadian kekerasan. Perilaku anak selama pandemi sebagaian besar merasa bosan di rumah. School from home membuat mereka khawatir akan pelajaran. Orang tuan mengalami kecemasan khawatir akan ekonomi keluarga. Persoalan ekonomi dan kematangan dari kepribadian orang tua. Hal yang paling penting adalah spiritual. Rasa syukur hubungan yang baik dengan Tuhan, mulai luntur. Dengan pembelajaran daring akan membuat konsentrasi orang tua akan terbagi. Dampak ke depannya adalah kepribadian si anak sebagai peserta didik tidak dapat dikontrol, serta memiliki kepribadian kasar. Hal didukung data yang menunjukkan penggunaan sosial media atau gadget tidak digunakan untuk tujuan belajar semata. Rasa setres yang sudah terpupuk sejak dini nantinya akan menjadi bom waktu saat dewasa. Seorang anak adalah perekam peniru lingkungan sekitarnya. Saat seorang anak dibesarkan dengan motivasi, toleransi, dan penerimaan dia akan tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri serta menghargai. Begitu pula sebaliknya.

Betapa mirisnya jika pandemi ini tetap berlangsung, dan para peserta didik tak dapat berjumpa dengan para pendidiknya. Sekolah selama ini adalah tempat anak-anak peserta didik belajar, menuntut ilmu, mengasah kemampuan akademis dan non akademis, melatih mental, kepercayaan diri, rasa tanggung jawab, kerjasama, toleransi dan saling menghargai. Antar murid dan guru, guru dan murid. Serta dengan lingkungan sekolah. Bayangkan saya, anak-anak bekerjasama dengan gudget mereka masing-masing, hanya gudget menjadi sobat terbaik mereka. Yang memberitahukan ada pelajaran, ada soal, ada PR, ada tugas, ada jawabannya bahkan ada waktu untuk bermain lebih lama lagi dengan gudget mereka. Lalu bagaimana dengan siswa yang tidak mampu, keharusan kelas daring yang akan berhubungan langsung dengan kuota. Sementara kuota belajar penggunaan sangat terbatas. Berpengaruh lagi dengan kualitas gudget. Suatu realitas social yang sedang dunia pendidikan hadapi. Sentuhan seorang guru secara langsung dengan muridnya mmesti dirasakan seorang peserta didik. Guru akan menjadi panutan dari muridnya, pesan guru akan menjadi tuntunan sang murid dalam menempuh ilmu bahkan nanti dalam mengimplementasikannya pada kehidupan bermasyarakat. Pembelajran daring tak kan bisa pula dilakukan seperti waktu pembelajaran biasa. Mengingat lagi kebutuhan internet yang tentunya sangat berpengaruh pada ekonomi masyarakat.

Ketika generasi muda penerus bangsa, menjadi insan yang bodoh, yang teertekan mentalitasnya, tak berakhlak dan berkepribadian tangguh,  maka kesempatan masuknya pengaruh-pengaruh negatif ke dalam individu lebih besar. Baik itu terorisme, doktrin-doktrin menyesatkan melalui social media dengan info hoax. Bahkan masukkan aliran anarkis, radikalisme dalam pemikiran generasi muda bangsa Indonesia sangat berpeluang besar. Sekiranya pembelajaran tatap muka tetap dilaksanakan dengan sarana dan prasarana yang diatur sesuai protocol kesehatan. Sedini mungkin aset bangsa yang unggul harus diselamatkan. Berbagai program kepedulian telah dilakukan pemerintah pusat. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek). Hampir semua program kita itu bertumpu untuk memberikan suatu kemerdekaan bagi murid, kemerdekaan bagi guru, kemerdekaan bagi unit pendidikan dan juga kemerdekaan bagi ekosistem pendidikan untuk berpartisipasi dalam dunia pendidikan. Segala upaya, inovasi, strategi, telah dilakukan. Akan tetapi realitas sosial masyarakat berbeda, sarana prasarana pun belum maksimal dimiliki setiap daerah. PR Mas Menteri sangat banyak, untuk menemukan ramuan yang tepat untuk setiap provinsi yang ada di Indonesia.

*) Penulis adalah dosen Stispol Wira Bhakti

Artikel sebelumyaMiskin tapi Cengeng
Artikel berikutnyaUKM Kesnas Stispol Wira Bhakti Ikuti Pentas Virtual HUT Ke-63 Pemprov Bali